Terapi Emas (Chrysotherapy): Sejarah dan Potensi Emas dalam Pengobatan Penyakit Rematik
Pemanfaatan logam mulia dalam pengobatan bukanlah konsep baru; ia berakar jauh dalam praktik kedokteran kuno. Dalam dunia modern, Terapi Emas (Chrysotherapy) telah diakui sebagai salah satu tahap penyembuhan yang efektif untuk penyakit autoimun, khususnya Rheumatoid Arthritis (RA) atau radang sendi. Terapi Emas melibatkan penggunaan senyawa emas yang disuntikkan atau diminum untuk mengurangi peradangan sendi, yang merupakan ciri khas dari penyakit rematik. Pengobatan ini menunjukkan bagaimana zat yang dianggap berharga karena nilai ekonominya, juga memegang peran vital dalam dunia kesehatan karena sifat kimiawi dan biologisnya yang unik. Keefektifan Terapi Emas ini seringkali menjadi alternatif penilaian ketika obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) gagal memberikan hasil yang memuaskan.
Sejarah Terapi Emas modern dimulai pada awal abad ke-20. Pada tahun 1929, dokter Perancis, Jacques Forestier, pertama kali mengamati bahwa garam emas menunjukkan efek terapeutik yang signifikan pada pasien RA. Hingga tahun 1980-an, senyawa emas seperti auranofin (oral) dan gold sodium thiomalate (suntik) menjadi bagian standar pengobatan RA. Walaupun kemudian popularitasnya sempat menurun seiring penemuan obat Disease-Modifying Antirheumatic Drugs (DMARDs) yang lebih baru, emas tetap diakui memiliki sifat anti-inflamasi yang kuat. Penelitian saat ini berfokus pada mekanisme kerjanya, di mana emas dipercaya bekerja dengan menghambat migrasi sel-sel imun perusak (makrofag) ke jaringan sendi dan mengganggu jalur sinyal inflamasi.
Penting untuk dicatat bahwa Terapi Emas tidak menggunakan Emas Cair murni seperti dalam nanoteknologi, melainkan senyawa kimia yang mengandung emas. Pengobatan ini memerlukan pemantauan medis yang ketat karena dapat menimbulkan efek samping, meskipun umumnya ringan, seperti ruam kulit atau masalah ginjal. Contoh nyata dari penggunaan terapi ini adalah di Pusat Rematologi Nasional pada tahun 2026, di mana sekelompok pasien RA dengan tingkat keparahan sedang yang tidak merespons obat lini pertama dimasukkan ke dalam Program Pembinaan Masyarakat medis yang mencakup Terapi Emas. Pemberian senyawa emas intramuskular dilakukan sekali seminggu selama enam bulan, di bawah pengawasan ketat seorang reumatolog.
Meskipun Terapi Emas saat ini sering digunakan sebagai obat lini kedua atau ketiga, prospek masa depannya kembali cerah berkat kemajuan nanoteknologi. Para peneliti kini sedang menjajaki cara Memanfaatkan Teknologi Digital untuk mengembangkan Nanopartikel Emas yang dapat meminimalkan efek samping sambil memaksimalkan efek anti-inflamasi di lokasi peradangan. Pendekatan baru ini berpotensi menghidupkan kembali Terapi Emas sebagai solusi yang lebih aman dan terukur untuk mengatasi salah satu penyakit autoimun yang paling melemahkan ini.


