Diversifikasi Devisa: Mengapa Negara Kaya pun Tak Mau Lepas dari Logam Mulia?
Cadangan devisa suatu negara adalah cerminan dari kesehatan dan stabilitas ekonominya. Komponen utama devisa biasanya berbentuk mata uang asing, obligasi pemerintah negara maju, dan Special Drawing Rights (SDR). Namun, di tengah volatilitas geopolitik dan ketidakpastian pasar finansial global, bank sentral di berbagai negara, bahkan yang terkaya sekalipun, tetap mempertahankan porsi besar emas dalam aset cadangan mereka. Strategi ini dikenal sebagai Diversifikasi Devisa, sebuah langkah krusial untuk memitigasi risiko sistemik. Emas dianggap sebagai aset ultimate insurance atau jaminan pamungkas yang tidak terikat pada janji utang atau kebijakan fiskal pemerintah manapun, menjadikannya elemen wajib dalam manajemen risiko moneter suatu negara.
Alasan utama bank sentral melakukan Diversifikasi Devisa ke emas adalah fungsinya sebagai counter-cyclical asset—aset yang bergerak berlawanan arah dengan aset berisiko lainnya, seperti Dolar AS atau obligasi. Ketika terjadi krisis global, nilai mata uang dan obligasi cenderung jatuh, tetapi harga emas akan melonjak karena investor dan institusi ramai-ramai mencari aset aman. Sebagai contoh, Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) secara konsisten mempertahankan cadangan emasnya yang terbesar di dunia, bahkan saat Dolar AS adalah mata uang cadangan global. Strategi ini terbukti efektif selama krisis keuangan 2008 dan pandemi Covid-19, di mana kenaikan harga emas membantu menstabilkan total nilai cadangan devisa negara-negara yang berinvestasi di dalamnya.
Keputusan untuk terus meningkatkan porsi emas dalam Diversifikasi Devisa semakin terlihat jelas pada tren pembelian global belakangan ini. World Gold Council melaporkan bahwa pada kuartal ketiga tahun 2023, pembelian emas oleh bank sentral mencapai rekor tertinggi dalam sejarah, yang didorong oleh kebutuhan untuk melindungi diri dari inflasi yang tinggi dan risiko geopolitik. Bank Sentral Turki, misalnya, mencatat penambahan cadangan emas yang signifikan setelah terjadi gejolak nilai mata uang domestik yang tajam. Di Indonesia sendiri, Bank Indonesia (BI) mempertahankan cadangan emas sebagai bagian vital dari cadangan devisa. Per data BI per tanggal 30 September 2024, cadangan emas Indonesia mencapai puluhan ton, yang dikelola secara ketat dan profesional sesuai standar akuntansi internasional.
Selain itu, emas tidak membawa risiko kredit (credit risk) karena ia adalah aset fisik yang berwujud, bukan utang. Obligasi, meskipun aman, tetaplah janji bayar dari pihak penerbit, yang bisa saja gagal bayar. Oleh karena itu, bagi bank sentral yang bertugas menjaga stabilitas ekonomi dan nilai mata uang, menyimpan sebagian kekayaan negara dalam bentuk emas adalah langkah fundamental yang logis dan historis. Logam mulia ini menjamin bahwa, terlepas dari krisis atau runtuhnya sistem finansial manapun, negara tersebut masih memiliki aset yang diakui dan dapat digunakan sebagai alat tukar universal terakhir.


